Jagat pendidikan kembali diguncang kabar besar. Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sekaligus pendiri Gojek, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek laptop Chromebook. Kerugian negara yang muncul dari proyek ini ditaksir mencapai Rp1,98 triliun, angka fantastis yang menyisakan banyak pertanyaan.
Cerita bermula pada awal 2020, ketika Nadiem aktif menjalin komunikasi dengan pihak Google Indonesia. Pertemuan demi pertemuan membahas program Google for Education dengan perangkat Chromebook berujung pada kesepakatan: sistem operasi Chrome OS dan perangkat lunaknya akan dipakai dalam pengadaan laptop untuk sekolah-sekolah di Indonesia. Padahal, kala itu program pengadaan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) belum resmi dimulai.
Tidak lama berselang, rapat-rapat internal kementerian digelar. Dari instruksi yang turun, spesifikasi laptop diarahkan agar sesuai dengan Chrome OS. Bahkan, aturan resmi berupa Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 ikut memasukkan sistem operasi tersebut dalam lampirannya. Alhasil, jalur pengadaan laptop sebanyak 1,2 juta unit untuk jenjang PAUD hingga SMA seolah sudah “terkunci” untuk Chromebook.
Masalah muncul ketika rekomendasi tim teknis justru menyarankan Windows, bukan Chrome OS. Alasannya sederhana: Chromebook sangat bergantung pada internet, sedangkan akses jaringan di banyak daerah 3T masih jauh dari memadai. Akibatnya, cita-cita digitalisasi pendidikan justru terhambat. Lebih parah lagi, Kejagung menemukan indikasi mark-up harga laptop hingga Rp1,5 triliun, ditambah kerugian Rp480 miliar dari pembelian perangkat lunak.
Dalam jumpa pers, Kejagung menegaskan bahwa Nadiem dianggap memiliki peranan sentral dalam mendorong proyek ini. Ia dijerat pasal tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman berat: penjara minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun, bahkan bisa seumur hidup, serta denda hingga Rp1 miliar. Untuk kepentingan penyidikan, Nadiem ditahan di Rutan Salemba selama 20 hari ke depan.
Selain Nadiem, ada empat nama lain yang ikut terseret. Mereka adalah Sri Wahyuningsih, Direktur Sekolah Dasar tahun 2020–2021; Mulyatsyah, Direktur SMP Kemendikbudristek pada 2020; Jurist Tan, staf khusus Mendikbudristek bidang pemerintahan di era Nadiem; serta Ibrahim Arief, konsultan perorangan yang terlibat dalam perancangan infrastruktur teknologi pendidikan. Daftar ini semakin memperlihatkan bahwa kasus ini bukan kerja satu orang saja, melainkan jaring yang melibatkan banyak pihak di lingkaran kementerian.
Kasus ini bukan sekadar soal angka triliunan rupiah yang hilang, tetapi juga soal bagaimana ambisi digitalisasi bisa berubah menjadi jebakan ketika transparansi diabaikan. Bagi mahasiswa dan kaum muda, kisah ini adalah pengingat: inovasi dan teknologi tidak boleh hanya jadi proyek besar di atas kertas, melainkan harus benar-benar memberi manfaat nyata bagi pendidikan bangsa.
